Selamat menghitung
hari wahai para pembaca tidak setia yang gue berikan predikat sebagai Ghost reader. Gue adalah seorang
laki-laki berumur 22 tahun yang memiliki banyak keresahan. Beberapa orang
bilang gue terlalu pemikir, beberapa lagi bilang gue orangnya suka ambil pusing
banyak hal, dan beberapa lainnnya bilang kalo gue terlalu pemikir sampe pusing.
Ya, gue tidak menyalahkan apa yang mereka bilang, dan gue selalu terima apapun
pendapat orang, walaupun lebih menyenangkan kalau memiliki perasaan yang
diterima oleh orang yang kita sayang.
Iya, gue adalah orang
yang suka sekali resah dan banyak hal yang membuat gue tidak nyaman. Salah satu
yang membuat gue resah adalah orang-orang dalam generasi gue, generasi
milenial. Gue tau, gue hidup dalam generasi milenial, orang bilang generasi
milenial adalah generasi yang mau praktis dan tidak suka ambil pusing, dan gue
setuju atas hal itu karena benar, tapi tidak sepenuhnya tepat. Karena, kami
generasi milenial bukan hanya mau praktis dan tidak ambil pusing, tapi kita
juga narsistik dan butuh pengakuan.
Kenapa gue bisa bilang
begitu ? karena gue melihat bagaimana keadaan dan situasi yang biasa dilihat
dari sosial media dan lingkungan pergaulan gue. Gue bukanlah anak muda idealis
tinggi yang suka pake kaos-kaos artistic gombrang yang selalu menggunakan
ornamen magis alam dengan simbol tali-tali sebagai hiasan di tas sembari
menyuarakan cintailah alam, berdamailah dengan masalah, tapi masih bikin
masalah dengan tidak mencintai alam, karena masih membuang sampah sembarangan.
Maaf, bagi gue idealis itu bukan identitas gaya, tapi pola pikir dan karakter.
Beberapa lainnya ada
pula milenial yang mengaku penggiat politik, bilang harus menjunjung tinggi
keadilan dan musyawarah sambil berteriak-teriak di kampus kecintaannya dengan megaphone, sembari tidak lupa
mengepalkan tangan kiri keatas seolah aspirasinya sudah menggenggam semua
perwakilan suara dari orang-orang sekitarnya. Namun, ketika dia sudah
mendapatkan posisi yang dia inginkan tangannya sudah tidak mengepalkan keatas,
tapi sibuk merogoh kebawah mencari uang dan kekuasaan yang bisa dia kepal kuat.
Dimana teriakan keadilan yang sebelumnya disuarakan sampai ingin mengalahkan
sengatan panas matahari ? apa sudah mati ?
Sibuk untuk berlomba
menunjukan eksklusifitas taraf hidupnya. Membuat golongan sendiri seolah
mencari dan ingin berkumpul dengan yang sejalan maunya dia. Namun bukan
pemikiran yang dicari, tapi hanya keinginan dari seorang yang menjunjung tinggi
ke-akuan. Menetapkan standarnya sendiri untuk menjadi syarat masuk dalam
lingkungannya. Berlomba-lomba jadi pionir tentang golongan yang paling beda,
golongan paling pintar, tapi nyatanya hanya bersembunyi dalam kelompok karena
takut untuk menjadi yang paling beda. Jadi, siapa yang lemah ?
Punya sosial media, sebagai
alat untuk menunjukan eksistensi dan mencari pengakuan dari banyak orang, hanya
karena tidak percaya diri atas kemauan dan tujuan yang ingin didapatkan dan
dicapai. Kenapa harus membandingkan feed lu,
dengan teman lu yang lu anggap lebih keren dan hebat. Resah ketika likes di instagram tidak mencapai target
minimal. Terperangkan hidup dalam menipu diri sendiri dan menghakimi diri
sendiri. Apakah tidak lelah ?
Mencoba jadi yang
mengikuti arus, tanpa sadar ternyata keinginan sebenarnya terus menerus digerus.
Sampai, pada titik bingung, hampa, dan mencari hal instan untuk sekedar
mengobati hal-hal rawan dalam kehidupan yang memiliki potensi luka kembali, dan
malah menjadi semakin rentan.
Apa yang salah ? apa
selalu ingin hidup dalam mimpi-mimpi semu ? berusaha selalu menipu diri lu,
kalau lu adalah bagian dari kehidupan palsu yang menciptakan kebohongan yang
candu ?
Gue bener-bener resah.
Kenapa harus selalu merasa jadi yang paling depan, kalau memang masih
terbelakang ?
Mulailah dengan
mengisi intuisi, perkuat visi, ciptakan misi yang bukan hanya lewat kisi-kisi,
tapi terus ciptakan inovasi. Bukan untuk menghakimi, tapi hanya ingin berbagi
kalau lu memang resah, lu tidak sendiri.