Hari itu, 6 Januari 2019,
hari ke 6 ditahun baru setelah berperang dan berlelah serta berbahagia di tahun
2018… orang bilang tahun baru artinya semangat baru, rutinitas baru, hidup
baru. Tidak ada yang salah dari semua keingan itu, akan tetapi diumur gue yang
sudah 22 tahun, gue sudah tidak merencanakan atau mempautkan tahun baru sebagai
hidup baru. Stigma yang sedang dan masih gue perdalam dan gue pelajari, untuk merubahnya agar menjadi,
HIDUP LEBIH BAIK SETIAP HARI.
Gue mencoba mengawali pagi ini dengan bangun pagi dan berolah raga. Walaupun, sebenarnya ini bukanlah kesengajaan gue. Karena dimalam sebelumnya gue habis makan ayam geprek yang pedes, itu makanan lebih mirip obat pencuci perut dibanding jadi makanan.
Selalu ada masanya kita
tidak puas dengan apa yang telah kita capai dan kita miliki. Hal itulah
terkadang yang membuat kita mencari alasan untuk melakukan hal-hal yang bersifat
untuk melarikan diri atau sekedar melupakan hal yang membuat kita tidak puas
itu. Karena pada akhirnya ketidak puasan hanya akan bermuara pada lembah gelap
tak berujung, yang dinamakan dengan kekecewaan.
Gue yang sudah berumur 22
ini merasa kecewa atas hal yang belum bisa gue capai. Hal itu bisa benar-benar
membuat gue menjadi cemas dan lupa atas segala hal yang gue capai. Periode ini
selalu menjadi periode paling gue tidak
suka, dan seakan-akan menghancurkan segala rencana yang gue buat untuk langkah
kedepannya. Gue pernah mencari penyebab hal yang bisa membuat gue sangat cemas
ini, dan ternyata ada istilah yang semakin gue pahami belakangan ini, yaitu “overthinking”.
Mereka yang sudah, belum,
dan sedang merasakannya. Tenang, gue cukup mengerti, mungkin tidak banyak,
namun satu hal yang kalian tau, gue pernah merasakannya. Setidaknya walaupun
penyebabnya berbeda, kita pernah berdiri di tempat dan berada pada ruang yang
sama, ruang kekecewaan. Gue pernah baca pada salah satu buku terbaik dan
terindah, salah satu kutipannya yang gue ingat ketika mengalami kekecawaan
adalah, ”Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah
mengeringkan tulang.”
Sebelumnya gue tau tentang
betapa baiknya kata-kata itu, tetapi akhirnya gue baru paham apa makna lebih
dalam dari kutipan itu. Memang benar, jika belum merasakan dan mengalaminya
kita tidak pernah lebih paham atas suatu hal. Kemudian setelah gue memetakan
kekecawaan gue, dan mengingat beberapa hal yang berhubungan dengan segi lain
kehidupan gue, timbulah suatu perasaan dan pemikiran yang terucap dalam hati…
“terima kasih”. Entah kenapa semakin gue mengucapkan kata itu dalam hati gue,
gue merasakan sensasi yang berbeda. Sensasi kehangatan ditengah rasa dingin
yang menyerang saat kekecewaan itu datang.
Terima kasih, terima kasih,
terima kasih. Semakin gue mengingat hal baik yang gue dapat ditengah kekecewaan
gue, semakin terulang kata itu dalam hati gue. Perasaan itu, sensasi kehangatan
itu seolah semakin mengalahkan dinginnya perasaan kecewa. kehangatan itu datang
seolah bersama-sama pasukan cahaya yang seolah menarik gue dari lembah gelap
tak berujung. Mereka membantu gue, membantu untuk kembali memulai.
Gue sudah cukup berkabung
dalam kekecewaan, sudah saatnya gue kembali menapakan langkah gue. Jalan akan
selalu ada untuk mereka yang mau bertarung mengalahkan kekecewaan. Tenang,
semua ada waktuNya dan bagiannya. Namun, jikalau kembali ke lembah gelap itu,
cahaya itu tetap ada di dalam hati kita, jika kita ingin menyalakannya kembali cukup dengan luapan kata “terima kasih”. Semakin banyak alasan baik untuk mengucapkan
kata ini dalam hati, semakin terang cahaya itu berpendar. Satu hal penting yang
harus dimulai adalah dengan berterimakasih kepada diri sendiri karena sudah mau
ikut proses itu. Jangan lupa, untuk berterima kasih pada dirimu, itu baik !
Terima kasih, terima kasih,
terima….kasih, Terima kasih, kasih.
No comments:
Post a Comment
Komentarlah sewajarnya, sebelum komentar itu dilarang.