Saturday, 9 February 2019

MILENIAL RESAH

Selamat menghitung hari wahai para pembaca tidak setia yang gue berikan predikat sebagai Ghost reader. Gue adalah seorang laki-laki berumur 22 tahun yang memiliki banyak keresahan. Beberapa orang bilang gue terlalu pemikir, beberapa lagi bilang gue orangnya suka ambil pusing banyak hal, dan beberapa lainnnya bilang kalo gue terlalu pemikir sampe pusing. Ya, gue tidak menyalahkan apa yang mereka bilang, dan gue selalu terima apapun pendapat orang, walaupun lebih menyenangkan kalau memiliki perasaan yang diterima oleh orang yang kita sayang.
 
  
Iya, gue adalah orang yang suka sekali resah dan banyak hal yang membuat gue tidak nyaman. Salah satu yang membuat gue resah adalah orang-orang dalam generasi gue, generasi milenial. Gue tau, gue hidup dalam generasi milenial, orang bilang generasi milenial adalah generasi yang mau praktis dan tidak suka ambil pusing, dan gue setuju atas hal itu karena benar, tapi tidak sepenuhnya tepat. Karena, kami generasi milenial bukan hanya mau praktis dan tidak ambil pusing, tapi kita juga narsistik dan butuh pengakuan.

Kenapa gue bisa bilang begitu ? karena gue melihat bagaimana keadaan dan situasi yang biasa dilihat dari sosial media dan lingkungan pergaulan gue. Gue bukanlah anak muda idealis tinggi yang suka pake kaos-kaos artistic gombrang yang selalu menggunakan ornamen magis alam dengan simbol tali-tali sebagai hiasan di tas sembari menyuarakan cintailah alam, berdamailah dengan masalah, tapi masih bikin masalah dengan tidak mencintai alam, karena masih membuang sampah sembarangan. Maaf, bagi gue idealis itu bukan identitas gaya, tapi pola pikir dan karakter.

Beberapa lainnya ada pula milenial yang mengaku penggiat politik, bilang harus menjunjung tinggi keadilan dan musyawarah sambil berteriak-teriak di kampus kecintaannya dengan megaphone, sembari tidak lupa mengepalkan tangan kiri keatas seolah aspirasinya sudah menggenggam semua perwakilan suara dari orang-orang sekitarnya. Namun, ketika dia sudah mendapatkan posisi yang dia inginkan tangannya sudah tidak mengepalkan keatas, tapi sibuk merogoh kebawah mencari uang dan kekuasaan yang bisa dia kepal kuat. Dimana teriakan keadilan yang sebelumnya disuarakan sampai ingin mengalahkan sengatan panas matahari ? apa sudah mati ?

Sibuk untuk berlomba menunjukan eksklusifitas taraf hidupnya. Membuat golongan sendiri seolah mencari dan ingin berkumpul dengan yang sejalan maunya dia. Namun bukan pemikiran yang dicari, tapi hanya keinginan dari seorang yang menjunjung tinggi ke-akuan. Menetapkan standarnya sendiri untuk menjadi syarat masuk dalam lingkungannya. Berlomba-lomba jadi pionir tentang golongan yang paling beda, golongan paling pintar, tapi nyatanya hanya bersembunyi dalam kelompok karena takut untuk menjadi yang paling beda. Jadi, siapa yang lemah ?

Punya sosial media, sebagai alat untuk menunjukan eksistensi dan mencari pengakuan dari banyak orang, hanya karena tidak percaya diri atas kemauan dan tujuan yang ingin didapatkan dan dicapai. Kenapa harus membandingkan feed lu, dengan teman lu yang lu anggap lebih keren dan hebat. Resah ketika likes di instagram tidak mencapai target minimal. Terperangkan hidup dalam menipu diri sendiri dan menghakimi diri sendiri. Apakah tidak lelah ?

Mencoba jadi yang mengikuti arus, tanpa sadar ternyata keinginan sebenarnya terus menerus digerus. Sampai, pada titik bingung, hampa, dan mencari hal instan untuk sekedar mengobati hal-hal rawan dalam kehidupan yang memiliki potensi luka kembali, dan malah menjadi semakin rentan.

Apa yang salah ? apa selalu ingin hidup dalam mimpi-mimpi semu ? berusaha selalu menipu diri lu, kalau lu adalah bagian dari kehidupan palsu yang menciptakan kebohongan yang candu ?
Gue bener-bener resah. Kenapa harus selalu merasa jadi yang paling depan, kalau memang masih terbelakang ?

Mulailah dengan mengisi intuisi, perkuat visi, ciptakan misi yang bukan hanya lewat kisi-kisi, tapi terus ciptakan inovasi. Bukan untuk menghakimi, tapi hanya ingin berbagi kalau lu memang resah, lu tidak sendiri.

No comments:

Post a Comment

Komentarlah sewajarnya, sebelum komentar itu dilarang.