Kali ini gua bakal menceritakan
tentang masa kecil, masa yang penuh alunan melodi harpa menawan nan indah. Masa
dimana kita tidak berani untuk “melawan” orang tua, masa dimana kita sungguh
polos dan bersih, masa dimana kita masih tulus untuk mencintai seseorang tanpa
memerlukan alasan. *Yes I’m feeling so cool now*
Tanpa terasa waktu
sangat cepat berlalu, seperti saat kita melontarkan kata-kata dari mulut.
Sungguh cepat dan tak bisa ditarik kembali, walau terkadang kata-kata itu
seakan menjadi bumerang yang akan kembali kepada kita, jika kita tidak bisa
menangkapnya maka kata-kata itu sendiri yang akan menyerang kita. Akhir –akhir
ini gua lebih banyak merenung tentang mengapa seorang balita yang tadinya
sungguh bersih dan polos bisa berubah menjadi watak yang berbanding terbalik.
Padahal pada awalnya semua orang terlahir tanpa dosa, tapi kenapa ada yang
tumbuh menjadi orang yang penuh dengan rasa duniawi yang berujung pada
kejahatan tanpa melupakan rasa bersalah ?
Sebenarnya itu juga
yang gua rasain sama diri gua sendiri, gua mengingat ketika gua masih kecil,
dimana gua selalu nurut sama orang tua dan selalu merasa takut untuk bertingkah
curang sekecil apapun itu. Tapi seiring berjalannya waktu gua bingung, kenapa
gua baru sadar ternyata gua udah berubah. Memang benar bahwa dunia ini sungguh
kejam, karena domba yang penurut pun akan berubah menjadi serigala bengis di
dunia ini. Saling mempercayai satu sama lain seakan semakin menghilang seiring
berjalannya waktu. Dulu gua pernah memasuki fase dimana gua ngga percaya sama
orang banyak dan hanya bermain sama beberapa orang yang bisa gua percaya.
Dan perenungan itu
membawa gua kembali ke masa lalu, tepatnya waktu kelas 1 SD itu bisa disebut
masa-masa badungnya gua, gua sering banget ngga ngerjain PR, ngambil jajanan
dan mainan temen sekolah, suka gangguin orang yang lagi main, dan bahkan pernah
yang namanya ngumpulin temen buat mukulin orang cuman karena kepala gua benjol
gara-gara kedorong sama orang yang lagi main pesawat kertas. Bisa dibilang
waktu gua kelas 1 SD temen gua sedikit, karena gua lebih suka main bergerombol,
tapi karena tingkah gua yang kaya gitu gua juga pernah dibenci sama banyak
orang, banyak musuh. (Astaga, betapa pemurungnya anak ini)
Waktu kelas 1 SD
pernah ngerasain yang namanya di setrap depan kelas ditambah coretan “P” di
pipi kanan dan “R” di pipi kiri karena ngga ngerjain PR. Gua juga pernah mukul
temen sebangku cuman gara-gara dia ngga kasih pinjem komik lipat dari kertas
hadiah mie kremezz yang gambarnya boboho mirip alien, karena digambar kemasan
itu ukuran kepala boboho terlalu besar dan ngga singkron sama badannya yang
kecil. Dan puncaknya ketika gua mengambil rapot ketika itu ngambil rapotnya pagi
hari kira-kira jam 8, nilainya sih cuman nilai standar tapi wali kelas gua
ngelaporin semua tingkah buruk gua dikelas. Disitu gua sedikit merasa takut,
karena waktu itu Bapak gua yang ngambilin rapot. Waktu SD selalu Bapak gua lah
yang ngambil rapot, karena gua satu sekolah bareng kakak gua jadi sekalian aja
bapak gua yang selalu ngambilin rapot kita berdua. Tapi gua dan kakak gua harus
selalu ikut saat pengambilan rapot. Gua dulu pernah nanya “Pak, kenapa aku
harus ikut ngambil rapot ? temen-temen aku banyak yang diambilin rapotnya tanpa
mereka ngga ikut”. Bapak gua menjawab dengan
sura pelan “Itu ngga benar, kan yang mau diambil rapotmu, hasil laporan
kamu selama belajar di sekolah, Bukan Bapak. Kecuali kalau Bapak yang sekolah,
baru kamu ngga usah ikut”. Gua pun langsung terdiam sama jawaban itu.
Dari mimik wajah Bapak
gua saat itu, gua yakin kalau dia kecewa sama laporan tingkah anaknya dari wali
kelas gua. Setelah selesai mengambil rapot gua dan kakak gua tibalah waktunya
untuk pulang, sungguh perubahan suasana yang drastis dibanding saat mengambil
rapot kakak gua Ka Sonya. Sebelum ngambil rapot gua, Bapak gua mengambil rapot
kakak gua terlebih dahulu. Disitu suasana masih damai, karena kebetulan nilai
kakak gua cukup memuaskan, tapi Bapak gua bukanlah tipe orang yang langsung
mengelu-elukan kebanggaanya di depan anaknya itu sendiri, dia cuman senyum dan
bilang “ditingkatkan lagi belajarnya, semester depan harus lebih bagus lagi.
Mau makan apa?”. Kalau Bapak gua cuman ngomong gitu tanpa ada ceramah sedikitpun
itu artinya dia cukup puas, dan ngga lupa dia bakal menggosokan telapak
tangannya yang gagah dikepala anaknya sambil menatap anaknya dengan penuh arti.
Selama perjalanan
pulang, Bapak gua ngga ngomong apa-apa, baik ke gua maupun ke kakak gua. Setibanya
dirumah gua langsung ganti baju, dan Bapak gua langsung duduk dikursi dan
kembali mengambil rapot gua untuk dilihat kembali. Ketika gua selesai mengganti
baju, gua mendengar Bapak gua memanggil nama gua, dan itu berarti bukan hal
yang baik. Setelah gua berjalan untuk menghampiri Bapak gua, Dia berkata “duduk
kamu”. Disitu jantung gua berdegup cepat, seakan aorta dan vena memompa darah 2
kali lebih cepat. Bapak gua pun mulai berkata “Kenapa kamu bisa kaya gitu ?
Banyaklah belajar kalau gitu, ngga usah banyak main dulu. Makan sana ini udah
siang”. Sungguh singkat, padahal selama gua duduk gua ngga berani liat muka
Bapak gua sendiri, tetapi ketika dia selesai berbicara, gua langsung kaget
ketika menatap matanya, karena dari matanya seakan gua melihat dia kecewa sama
gua.Wow, gua yang masih kelas 1 SD
disaat itu baru pertama kali melihat Bapak gua menatap begitu. Ternyata rasa
kecewa orang tua terasa lebih menakutkan daripada amarahnya itu sendiri.
Hari itu sungguhlah
sepi, biasanya setiap sore Bapak gua selalu mengajarkan jurus berantem dan
pitingan baru (jurus mengunci lawan, gua ngga tau kenapa bapak gua bilang itu
jurus pitingan). Namun, sore itu Bapak gua cuman duduk doang sambil nonton tv ,
dan bisa dibilang hari itu menjadi titik balik gua. Hari dimana gua langsung
bersumpah sama diri sendiri untuk menjadi anak yang baik dan ngga akan badung
di sekolah lagi.
***
Memori itu seakan
muncul kembali akhir-akhir ini, bertumbuhnya umur membuat sifat gua berubah
untuk menjadi lebih cuek, dan jadi pribadi apatis. Gua mau menjadi anak kecil
yang masih penuh rasa bersalah ketika melakukan hal diluar jalur sebenarnya,
gua mau punya rasa bersalah yang besar itu kembali ketika gua gagal untuk
membuat senyuman tersungging di muka orang tua gua. Gua merasa kehidupan di
dunia ini telah mengikis rasa bersalah itu. Dimasa kuliah gua ini, gua merasa
gagal untuk menyunggingkan senyuman itu, rasa itu seakan kembali lagi untuk
menyadarkan sifat keapatisan gua. Dan membuat gua flashback kemasa kecil gua.
Kaki ini yang dulunya
sangat kecil dan tidak berani jauh melangkah, sekarang telah bertumbuh menjadi
kaki yang besar dan bahkan terlalu berani untuk melangkah dari jalur
seharusnya. Bapak gua pernah bilang ada dua kunci untuk bisa bertahan hidup di
dunia ini, yaitu jangan sombong dan jangan boros. Mungkin 12 bulan belakangan
gua telah melupakan salah satu kunci untuk tidak sombong. Gua terlalu banyak
menganggap beberapa faktor penting
menjadi hal sepele, dan ternyata hal sepele itu jadi bom waktu buat gua
sendiri. Sekarang memori masa kecil itu seakan mau mengingatkan gua untuk terus
menjadi anak kecil yang mempunya rasa bersalah ketika target tidak tercapai.
Dan sekarang gua seakan merasa berterima kasih sama memori masa kecil gua yang
kembali datang kepikiran gua menyadarkan gua sebelum gua melangkah terlalu
jauh.
Ini mirip kaya gua
seakan menemukan tujuan baru yang harus dicapai, dan bertaruh untuk tidak
mengulangi rasa bersalah karena tujuan itu ngga tercapai. Mungkin gua dimasa
kecil dateng melalui ruang 4 dimensi mirip film interstellar untuk menyadarkan
gua, sebelum terlambat. Hmmm, jadi apa lagi yang akan terjadi nanti ? sekarang
yang hanya gua butuhkan adalah untuk terus melangkah dengan kaki ini tanpa lupa
apa yang “kaki kecil” telah ajarkan kepada gua. Regards^^
No comments:
Post a Comment
Komentarlah sewajarnya, sebelum komentar itu dilarang.