Thursday, 26 February 2015

Bla bla bla

Gutten tag ! Feliz compleanos, jugador ! sambole nekete de omo cuendro de eternador de la gusta (ini adalah bahasa Latin ne gaco, yang biasanya dipake sama orang ngaco yang hobinya ngaco, ngapain masih dibaca ? ).

Akhir-akhir ini gua lagi coba belajar banyak bahasa-bahasa, mulai dari bahasa ibu sampai bahasa isyarat. Tapi waktu gua belajar bahasa isyarat mama gua malah marahin gua. Emang salah gua coba belajar bahasa isyarat depan kaca sendirian !? ( tapi kalo dipikir-pikir serem juga sih, ketika ada seorang Ibu yang meninggalkan anaknya sendirian dirumah selama 8 jam, dan ketika pulang melihat anaknya berusaha berkomunikasi dengan bayangannya sendiri di depan kaca dengan bahasa isyarat ).

Bahasa adalah media yang dipakai suatu makhluk hidup untuk berkomunikasi di suatu wilayah tertentu, dan biasanya untuk setiap wilayah tertentu memiliki bahasa yang berbeda – beda. Misalkan, orang Batak ngomong batak ke orang batak di wilayah yang ditempatin banyak suku batak. By the way, Gua adalah keturunan batak tulen tanpa pengawet buatan. Batak itu sebenarnya adalah singkatan yang artinya Banyak Taktik, dan biasanya orang batak identik sama aksen bahasanya yang “bah”, dan keras, serta suara bass yang berat pada para prianya. Mungkin lucu kalo ada Orang Batak yang campuran aksen Rusia dan India, terus disuruh ngomong bahasa Inggris aksen UK asli.

Gua juga udah belajar aksen India yang ngomong pake bahasa inggris dari beberapa film yang udah gua tonton. Dan sejauh ini aksen india inilah yang paling gua suka dan yang kedua adalah aksen Rusia. Kakak gua yang pertama pernah gua tunjukin ngomong bahasa inggris pake aksen india, waktu itu gua ngomong “it’s all about quality, not quantity”. Dan kakak gua hanya nyengir heran dan mungkin juga diliputin kecemasan. Mungkin dia bingung, ketika dia baru keluar dari kamar mandi langsung disambut sama adeknya yang ngomong pake bahasa inggris aksen India.

***

Dunia ini bener-bener kaya sama bahasa, gua pribadi sih mau bisa nguasain 5 bahasa Internasional sebelum umur 30 tahun. Bahasa yang mau gua kuasain diantaranya itu ada bahasa Indonesia, Inggris, Jerman (Deutscherland), Perancis, dan Jepang. Tapi akhir-akhir ini setiap belajar bahasa jepang pasti akhirannya kacau.

Dulu sempet pengen banget bisa nguasain bahasa german karena gua pengen bisa kerja di dubes Indonesia di german, Karena Jerman adalah negara keempat yang gua kagumin setelah Indonesia, Jepang, dan Inggris. Selama gua belajar, gua tarik hipotesis kalau belajar bahasa Jerman akan membuat kerongkongan kita seolah penuh reak. Nah, kalo belajar bahasa Perancis akan membuat bibir kita lebih monyong 0,01 mm.

Tapi selama ini gua masih bingung, siapa yang nyiptain kata bla-bla-bla, kenapa kalo orang menyingkat perkataan panjang menjadi bla-bla-bla? Kenapa bukan bol-bol-bol? (walau ini akan menjadi kontroversial di Indonesia).
Ternyata didalam sebuah bahasa juga bisa menciptakan bahasa lain yang membuat terciptanya bahasa baru dari bahasa induk yang sebenarnya.

Bersyukurlah kita orang Indonesia karena kita nganut alfabetis a-z. Ngga kebayang kalo gua jadi orang Tiongkok, apa iya gua bisa hapal dengan mantep itu abjad. Chinese dinobatkan sebagai salah satu bahasa terumit di dunia, dan di bahasa terumit itu juga ada bahasa Norwegia. Gua baru tau kalau Norwegia punya bahasa sendiri, kirain gua mereka pake bahasa Inggris. Lo juga baru tau kan ?
Bahasa Inggris gua juga masih lemah dalam pola kalimat, jadi…. Begitulah.

“I hope one day, I can be the one of Influence person in the world. It’s would be a honour, I believe I can go as far as I think.”

Oke, biar bijaknya lebih klop, ini gua kasih quotes dari diri gua sendiri, terinspirasi dari film Naruto.
“People who’s have a crazy dream is dumb, but people who’s don’t have a crazy dream is worster than dumb”.


Sedikit pesan untuk para martabak :
Wahai martabak, engkau adalah titisan cita rasa terindah yang singgah di setiap pulpa lidahku, biarlah keindahanmu hanya akan hancur oleh pencernaan peristaltik lambungku, janganlah pernah engkau pergi dari dunia yang fana ini. ( teruntuk : setiap martabak yang luluh lantah oleh kebinalan lambungku).

Friday, 20 February 2015

Puisi Kami

Kami
                                                                                              Karya : Jordi Andres Pernando
Kami tidak menuntut disayangi
Kami tidak menuntut dicintai
Tetapi . . .
Kami hanya ingin diakui dan dihormati

Walau kami hanyalah minoritas
Bukan berarti kami di berantas
Hai mayoritas
Kami ikhlas . . .

Kami terbiasa dipinggirkan
Kami terbiasa disisihkan
Tetapi kami tidak merasa kesepian
Karena kesepian hanya milik orang tak ber-Tuhan


“Respect each other, Perfect would come after” –Jordi Andres Pernado 

Ya..., umur ini udah membuat gua semakin peduli sama keadaan sekitar, terkadang menutup mata bisa membuat kita sedikit lebih baik akan masalah disekitar kita, tetapi akan menjadi lebih baik kalau kita bisa menggunakan tangan atau tindakan untuk merubah hal itu. Tapi satu yang selalu gua inget dari kata kakak gua, "Kalau mau niat merubah keadaan, baik lingkungan maupun Negara. Kita harus memulai semuanya dari diri sendiri dulu untuk berubah menjadi lebih baik".



Monday, 16 February 2015

Museum

Sebentar, celana gua melorot . . . oke, disini gua sebagai pemuda Indonesia, sekarang gua udah mulai sadar dikit demi dikit kalau kita yang pemuda ini harus benar-benar harus tau apa budaya yang bangsa kita punya serta sejarah tentang merdekanya Republik Indonesia. MERDEKA ! ! !

Museum… mungkin beberapa dari kita suka berpikir kalo museum hanyalah tempat kuno yang sunyi dan biasanya hanya dijadikan alternatif terakhir buat jalan-jalan, karena biaya tiketnya yang murah, dan kamar mandinya ngga bayar. Tapi museum juga adalah tempat memelihara benda-benda bersejarah yang memiliki nilai ekplisit yang tak ternilai. Karena dibalik benda-benda di museum selalu terdapat cerita historis ( tidak termasuk petugas tiket, staff museum, dan securitynya).

Jadi, sebelumnya gua udah mikir kalau jalan-jalan yang gua lakuin di liburan semester 1 ini harus bener-bener edukatif. Setelah di postingan sebelumnya gua pergi ke Monas, perjalanan gua dihari itu belum selesai, soalnya kata temen gua si Aini ternyata ada museum deket Monas ini, yaitu Museum gajah (Museum Nasional). Pertama kali gua denger itu gua langsung mikir kalau museum itu muat fosil-fosil gajah, terus ada replika mammoth gede. Kita sempet tersesat 30 menit di Monas buat nyari jalan keluar biar langsung ke Museum Gajah, temen gua sampe ada yang berhalusinasi sama tong sampah berbentuk ayam (sebenarnya gua agak bingung ini ayam apa penguin), bahkan dia mengelus sambil sesekali ngajak ngomong ayam yang mirip penguin itu.

Jadi sebelumnya kita sempat nyari pake GPS, tapi yang ada si GPS malah nunjukin jalan yang sesat. Tiba-tiba si Aziz ngomong bak malaikat turun dari tangga “jalannya lewat sini (sambil nunjuk-nunjuk), gua yakin banget, udah… percaya sama gua !”. Mungkin karena keyakinannya itu yang membuat dia jadi berhalusinasi sama tong sampah ayam mirip penguin, serta karena kita terus berjalan tapi ngga ketemu-ketemu itu museum. Untungnya waktu itu ada polisi, terus semuanya sepakat buat si Ria yang kali ini giliran nanya, tapi dia bilang takut nanyanya. Entah apa dia ada trauma sama polisi atau dia takut ditangkep di Monas karena dikira mencoba jualan ke polisi di Monas.

Ria pun bertanya sambil ngumpetin dagangannya “Pak kalau mau ke museum gajah dimana ?”, Bapak itu jawab “Disebelah sini sebenarnya deket, tapi gerbangngngya dikunci, jadi harus lewat gerbang depan… lagian juga ini udah sore mungkin udah tutup”. “ohh… makasih Pak” si pedagang Ria pun menjawab. Kita pun kembali berjalan mencari Museum Gajah.

Setelah melewati halang rintang tulang berulang (?), akhirnya kita sampai di museum gajah, sebelum gua masuk, tiba-tiba gua ada ingatan yang terbesit di otak gua setelah melihat artefak batu berbentuk bundar mirip gong. Dan lambat laun gua inget, ternyata gua pernah ke tempat ini waktu study tour sekolah kelas 6 SD, udah 7 tahun gua ngga ketempat ini, seolah-olah gua melihat bayangan gua yang lagi berlari-larian waktu SD (lebay). Banyak artefak yang gua liat tapi ada satu artefak yang nyita perhatian gua, ada artefak pispot zaman prasejarah. Ternyata nenek moyang kita udah make pispot duluan, sayangnya gua ngga sempet foto.

Belom lama di museum, seketika ada satpam yang nyamperin, gua kirain si Ria mau ditangkep karena dicurigai pengen dagang di museum, tapi si satpam malah ngomong gini ke gua “Mas, permisi... waktu mas tinggal 20 menit lagi….”,sebelum dia mengakhiri pembicaraannya terbesit imajinasi kalau gua bakal dikasih potongan artefak dan dia akan bilang ‘mas harus mencocokan potongan artefak yang terpisah ini, kalau mas berhasil, mas bakal dapet hadiah berupa patung gajah dengan pispotnya !’. Terus nanti ada kamera men yang langsung mengikuti kami seolah lagi di acara variety show bernama “artefak kaget”. Namun, lamunan gua langsung buyar setelah satpam melanjutkan pembicarannya  “…. Soalnya sebentar lagi museum mau ditutup pukul 16.00”. Gua pun menjawab dengan penuh sadar “Oke Pak, terimakasih infonya”.

Setelah sebelumnya gua ngga sempet foto sama pispot prasejarah, kali ini gua ngga boleh ngelewatin foto sama salah satu patung yang bener-bener punya daya tarik sensual ini, karena ada sesuatu berbentuk mirip kepala kura-kura leher panjang yang menempel di itunya. (gua yang kedua dari kiri, maksudnya yang kiri)

***

Ada sedikit kebanggaan yang muncul dari perjalanan gua di hari itu, dari ke dua tempat itu ada banyak bule yang datang. Gila ngga sih, ketika banyak warga negaranya yang mencoba untuk memodernkan diri  mengikuti perkembangan zaman, malah ada banyak orang asing yang mau tau tentang sejarah negara lain yang notabene bukanlah tanah airnya. Padahal menurut gua, buat tipikal anak muda yang kebanyakan suka selfie di foodcourt mall atau kamar mandi mall, Museum lebih berkualitas buat jadi latar selfie, daripada ada kloset atau piring kotor yang jadi latar.

Ya sesekali sih bolehlah dateng ke museum, kan ntar lucu jadinya kalo orang asing lebih mengetahui sejarah Indonesia dibanding warga negaranya sendiri, gua sadar ternyata gua belum menjadi warga negara yang baik. Budayakan budaya sendiri sebelum jadi “pembudidayaan” warga asing, MERDEKA ! ! !


Tuesday, 10 February 2015

Monumen Nasional

Anyeonghaseyo . . . neomu neomu saranghae sarang ayam.
Are you ready to read another posting from nowhere ?! ok, lets read !

Buzz…buzz…buzz…
Mungkin hampir 49,5% dari kalian yang baca postingan ini udah pernah ketempat ini, dan 30% dari 49,5% pernah ketempat ini pas masih bocah. Dan gua bua bukanlah bagian dari 30% itu. Dari kecil sampe gua akil balik, akhirnya gua ketempat yang dijadikan lambang DKI Jakarta ini, yaitu Tugu Monumen Nasional atau biasa disingkat Monas.

Dulu waktu kecil, selalu ada penolakan pas mau ketempat ini, ada aja halangan biar pergi ke Monas. Untuk pergi ketempat ini juga butuh perjuangan tersendiri buat gua. Mulai dari harus pergi ke stasiun sendiri sampe harus naik kereta sendiri. Seperti biasa, setiap pengalaman pertama gua pasti banyak menemui hal yang memalukan. Dimulai dari pas beli tiket kereta yang berbentuk kartu elektrik, ini adalah pertama kalinya gua beli tiket sendiri, biasanya setiap naik kereta semenjak teknologi ini dijalankan pasti selalu ada orang yang ngurusin dan tugas gua hanya tinggal naik dan turun kereta.

Sebelumnya gua harus naik motor ke stasiun dan itu membutuhkan waktu kira-kira 20-25 menit. Setelah gua sampe, gua langsung mencari tempat parkiran dan sialnya tempat parkiran di stasiun udah penuh dan mau gamau gua harus cari tempat penitipan motor deket stasiun, setelah berjalan dengan sedikit melambatkan motor, akhirnya gua menemukan tempat penitipan motor yang tidak meyakinkan.

Bayangin aja, tempat penitipan ini lebih mirip kaya bengkel jualan sepeda loak, ngga ada jarak antara satu motor dan motor lainnya, udah gitu motor yang diparkir sampe bener-bener di pinggir jalan raya persis ! bawaanya mau jual besi kalo ke tempat ini. Tapi karena gua ngga mau ketinggalan kereta, langsung aja gua masuk ke tempat penitipan itu dan langsung ketemu yang punya tempat penitipan, dan yang punyapun udah terlihat expert dibidangnya seolah-olah gua melihat banyak medali kejuaraan lomba parkir motor  yang tersemat dilehernya, wow !

Laki-laki paruh baya yang memiliki penitipan ini menggunakan baju berkerah yang tidak dikancing dan memakai celana bahan hitam, dan dia juga pake sarung tangan khas pembalap. Setelah gua melihat cara dia memarkirkan motor keyakinan gua atas expertnya orang ini bertambah, seolah melihat semakin banyak medali yang melingkar dilehernya.

Langsung aja gua bilang “Pak, saya mau nitipin motor”. Bapak paruh baya ini tidak menjawab dan langsung memarkirkan motor gua, setelah diparkirkan dia hanya mengatakan “pulang jam berapa ?”, gua pun menjawab “jam 6 Pak”. Kemudian dia hanya mengangguk, dan gua bilang “cuman gini doang pak?”. Dia bilang “terus gimana lagi?”. Gua hanya bisa tertegun (alah) karena dia ngga kasih kupon nomor yang biasanya tempat penitipan motor punya.

Karena gua ngga punya banyak waktu buat shock, gua langsung jalan ke stasiun yang letaknya ngga jauh dari tempat tadi. Gua langsung bergegas ke tempat antrian tiket sambil masih memikirkan kupon penitipan motor dan tujuan ke Monas. Tibalah giliran gua untuk beli tiket, dan si mba ini bertanya “tujuan kemana ?”, gua hampir menjawab “kupon motor Monas mba”, tapi untungnya gua masih bisa menguasai pikiran sendiri dan menjawab “stasiun Juanda”.

Setelah membeli tiket itu, gua langsung berjalan untuk mengantri meletakan tiket di sensor gerbang masuk. Mungkin karena gua diliatin sama satpam gua jadi grogi (alibi), gua naro tiketnya malah di layar berwarna hijau yang ada tulisannya, bukan di sensor yang berbentuk persegi panjang kuning. Satpam pun berkata  “Letakan tiketnya di sensor yang kuning dek”, gua cuman senyum mesem sambil bilang “Oh iya, saya lupa ingatan tadi Pak”.

Lucunya di pengalaman perdana naik kereta sendiri ini banyak bapak-bapak yang bertanya sama gua, dan gua pun menjawab sebisa gua walau ada beberapa yang ngga kejawab pertanyaannya karena gua jawab “kurang tau pak”. Suasana kereta waktu itu mirip kayak suasana konser outdoor yang sesak dan terkadang terdengar suara samar-samar  “air,air… siram kami air”. Salah satu kenyataan pahit yang harus diambil adalah gua harus berdiri dari stasiun Bekasi sampe stasiun Juanda dan itu butuh waktu 50 menit.

Anehnya tiba-tiba ada orang berpakaian khas hikers lengkap dengan buff dikepala dan  tas carrier/caril ukuran 40-50 liter,  berlari dari arah pintu gerbong kiri kereta dan menabrak orang-orang  dengan membabi buta, salah satu korbannya adalah gua. Ternyata dia cuman hendak menyebrang, tapi gua gatau apa yang dia makan sampe dia mikir buat menerobos gerbong kereta dan menabrak orang dengan membabi buta, ini merupakan suatu tindakan kriminal tabrak lari !

Gua berdiri di deket pintu kereta tempat hikers itu muncul tadi. Didepan gua persis ada laki-laki dewasa yang berdiri, tapi sialnya tingginya hanya sampai selubang hidung gua, kebetulan rambut dia jabrik dan suasana kereta mengharuskan semuanya berdiri berdempetan. Sepanjang perjalanan tak jarang rambut jabriknya menusuk lubang hidung gua sesekali, dan laki-laki itu sadar atas perbuatan rambut jabrik liarnya itu, dan dia cuman mengangguk senyum karena emang keadaan kereta yang sesak ini membuat dia tak bisa mengontrol rambut jabriknya.

Akhirnya setelah berdiri cukup lama, gua sampai di stasiun Juanda. Setelah itu gua turun dengan menggunakan tangga agar terlihat sedikit keren, karena kebetulan eskalatornya udah penuh banget. Gua langsung berjalan ke gerbang pintu keluar, dan kali ini gua meletakan tiket di sensor persegi panjang kuning yang ada di gate dengan mulus. Setelah keluar ternyata udah ada 3 orang yang menunggu disana dengan beberapa “banner imajinasi” gua.

Gua berjalan ke arah gerbang pintu keluar stasiun Juanda dan tiba-tiba suasana stasiun berubah seperti saat melewati toko baju di mall “tertentu”, karena ada banyak orang yang berteriak dengan memanggil "kakak". Adik gadungan itu memulai aksinya dengan meneriakan hal semacam ini,“ka, mau kemana ka?”,”Ayo ka saya anter”, dan masih banyak lagi yang memanggil kami kakak. Seorang dari kami terlihat takut dan seakan terkena serangan psikis karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia mempunyai banyak adik yang seolah minta pertanggung jawaban.

Setelah kami melewati adik-adik gadungan, kita bertiga berjalan ke gerbang masuk Monumen nasional. (apa perlu gua kenalin satu-satu orangnya ? apa kalian peduli ?) okelah, total kami empat orang, terdiri dari 2 pria dan 2 wanita, kami keturunan Pithecanthropus erectus, kami semua omnivore, alat respirasi kami paru-paru, dan kami semua adalah manusia tulen menurut persyaratan manusia pada umumnya. Pertama ada gua sendiri Jordi the Human man (?), terus ada Aziz the sleipers (sleep and slip), lalu ada 2 wanita yang cukup memenuhi kriteria manusia pada umumya yaitu, Ria dan Aini atau Aini dan Ria, terserah kalian bacanya gimana, itu juga kalo kalian bisa baca.

Kami berempat yang memenuhi kriteria manusia pada umunya ini berjalan ke tempat pembelian tiket untuk masuk ke Monumen Nasional. Aziz yang memiliki spesialis dalam humas mengemban tugas untuk membeli tiket itu. Setelah kami membeli tiket kami disambut sama 2 wanita dan 1 pria hippo berbadan tinggi yang lagi magang disana. Satu yang bikin gua kaget dan sedikit menggelitik, ternyata orang hippo ini suara halus banget dan itu menunjukan betapa rapuhnya pria hippo ini.

Setelah kita berkutat di lantai 1 Monas dalam waktu yang cukup lama kita berempat berniat untuk naik ke puncak Monas, setelah sampai disana, gua kaget karena ternyata ada tempat yang segini kerennya di Ibukota Indonesia, ternyata gua salah karena dari dulu menyepelekan untuk pergi ke Monas, dan akhirnya penyesalan gua udah terbayar sekarang, walau cuaca sedikit berkabut dan berangin di puncak Monas, gua cukup bahagia disini, ditambah lagi ternyata buat liat pake teropong ngga harus masukin koin dulu kaya perkiraan gua sebelumnya.

Ini view yang gua dapet pas gua foto dari puncak Bogor, eh... puncak Monas maksudnya.
Sekarang gua semakin ngerti kenapa spiderman ngga pernah main ke Indonesia. Coba liat gedung tingginya sama bangunan sekitarnya, ngerti kan ?

Mungkin gua merupakan salah satu korban di era millennium, dimana orang udah mulai berpikir untuk mengesampingkan yang namanya pergi jalan-jalan ke tempat bersejarah di Indonesia atau pergi ke museum yang sebenarnya penuh unsur edukatif, dibandingkan pergi ke tempat modern yang lebih menunjukan sifat hedonisme manusia di panggung kehidupan. *yoi dah !*
Ini adalah foto kita bertiga di puncak Monas, mirip kaya tersangka kriminal di reportase sore yang mukanya digelapin.

Sunday, 1 February 2015

Paradoks

Wassup all of my ghost reader ?
Ni hao ma ? wo ai ni. Ogenki desuka ? itadekimasu…

Paradoks…doks..doks… Pertama kali gua mikir kata ini entah kenapa yang tersirat adalah dua orang kembar siam yang berkepala botak lengkap dengan 8 titik khas ala shaolin , kaya di kepalannya krilin di dragon ball. Hiraukan intermezzo bersifat bedebah ini. Tapi yang gua bahas bukan tentang sekumpulan orang botak shaolin, tapi tentang paradoks yang terjadi di shaolin… eh, kehidupan manusia maksudnya.

Semakin gua besar, semakin tambahnya umur , gua semakin tau ternyata hidup ini keras, sekeras ujung sepatu pantopel LLAJR. Hidup emang sering berjalan ngga sesuai harapan kita, kita berpikir seolah kita tau apa yang paling baik buat diri kita sendiri. Egois… itu sifat yang sudah mendarah daging dalam setiap umat manusia, bahkan orang aneh yang suka makan upil sendiri, pasti punya sifat egois.

Dulu waktu kecil, waktu masih suka main pasir yang ngga jarang ketemu tokai kucing, pernah mikir, kalo pengen cepet gede biar ngga ada banyak larangan. Tapi ternyata jadi orang dewasa ngga seenak ngeliat mereka waktu kita masih kecil. Waktu kecil terlalu banyak batasan atau larangan yang ngga bisa kita kita lawan ataupun tentang, karena ngga lucu juga kalo ada segerombolan balita demo depan DPR buat minta turunkan harga popok dan susu sambil nunjukin celana yang kotor berkat tokai berceceran karena ngga bisa beli popok. Atau ngelemparin botol susu sambil berteriak cempreng “Berikan hak kami untuk menikmati susu, turunkan harga susu di warung !”.

Setelah gua besar ternyata terjadi paradoks. Ketika gua besar gua pengen jadi anak kecil, yang ketika pagi membuka mata hanya tersirat pikiran bahagia tanpa ada kerisauan tentang masalah apa yang akan terjadi hari ini. Salah satu ironi nyata yang terjadi pada gua atau bahkan banyak orang yang berpikir sama kaya gua. Waktu kecil gua mikir untuk melakukan segala hal dengan sederhana tanpa berpikir alasan jelas mengapa itu bisa terjadi.

Tapi seiring berjalannya waktu kemampuan sederhana anak-anak untuk menyederhanakan suatu hal, seakan menghilang ketika menuju proses pendewasaan, perjalanan hidup untuk mencapai pendewasaan menghancurkan pemikiran polos anak-anak untuk menyedarhanakan suatu hal. Proses menjadi dewasa membuat manusia tumbuh dengan pola pemikiran yang sudah tersistem, mengancurkan imajinasi, dan terlalu banyak ketakutan karena banyak pertimbangan.

Timbang…timbang….timbang
Emang sih pertimbangan ngga selalu buruk tapi ngga selalu baik juga. Pertimbangan akan menghasilkan ukuran yang pas, tapi gimana kalo banyak pertimbangan ? ? ? itu hanya akan menimbulkan kegelisahan dan berujung pada ketakutan saat mengambil keputusan. Miris emang… setiap orang dalam proses pematangan ini pasti pernah mengalami momen ini semua. Kadang pengen rasanya minum susu oplosan biar gua mabuk sekalian, buat sejenak ngelupain semua masalah yang ada di kehidupan sambil meracau liar “tambah lagi susunya…tambah susu… gua gapunya susu… susu siapa ini… kasih gua segelas susu tapir !”.

Ya gitu, kadang banyak paradoks yang terlintas di pikiran kita seperti saat perut lapar dan perut berbunyi tanpa ada yang mengundang kelaparan untuk datang. Kadang … eh kadang mulu gua ngomongnya, oke gua bakal ganti kadang jadi kandang, eh kok ga nyambung, eh kok lo ikutan bingung ? tunggu dulu… gua dimana? Gua siapa ?! kenapa ayam berkokok ? sejak kapan anjing kencing ngga berdiri ?!

Kalo kata Andrew temen gua, setiap ada orang yang mengeluh depan mukanya pasti dia akan berkata dengan suara bass so bijak “So… this-is-the-life..” dia akan menggoyangkan palanya keatas dan kebawah mirip boneka godek-godek yang biasa ada di mobil. Kadang gurauan itu bisa menyentak pengeluhan, tapi ngga jarang quotes itu keluar di saat yang ngga tepat. Misalkan waktu itu dia pernah numpang poop (boker, be’ol, eek. Gua terjemahkan dalam banyak bahasa ) di rumah si Nico, tanpa pikir panjang dia langsung nyelonong berlari secepat curut ke toilet, dan langsung bergegas ngunci pintu toilet agar radiasi nuklir dari tokai yang dikeluarkan ngga membuat kami semua jadi Hulk. Ketika si Andrew dengan asik di medan perang, Nico mengetok toilet dan berkata “ndre, airnya lagi mati, kalo mau boker ke toilet atas aja”. Gua cuman bisa ketawa denger Nico ngomong itu sambil ngomong dengan keras “ndre, eek lo lagi gantung ya sekarang ? lagi bingung di perbatasan antara keluar atau ngga?” gua lanjut ketawa lagi.

Tiba-tiba toilet hening dan kita semua ngira jangan-jangan Andrew shock denger itu dan langsung kena stroke sambil eek masih menggantung. Ketika kita deketin toilet tiba-tiba si Andrew berkata seakan dia sedang menghadapi masalah hidup yang berat “So… this-is-the –life…”. Kami tenang karena ternyata Andrew ternyata masih hidup dan ngga jadi kena stroke. 

Ini adalah foto kami berempat pas nyoret-nyoret dinding sekolah, tampang kita emang agak sedikit menyedihkan disini. Coba liat tatapan si Andrew yang paling kiri, tatapannya penuh makna seakan tatapannya berbicara .... "Ma, aku mau pulang mak."