Anyeonghaseyo . . .
neomu neomu saranghae sarang ayam.
Are you ready to read
another posting from nowhere ?! ok, lets read !
Buzz…buzz…buzz…
Mungkin hampir 49,5%
dari kalian yang baca postingan ini udah pernah ketempat ini, dan 30% dari
49,5% pernah ketempat ini pas masih bocah. Dan gua bua bukanlah bagian dari 30%
itu. Dari kecil sampe gua akil balik, akhirnya gua ketempat yang dijadikan
lambang DKI Jakarta ini, yaitu Tugu Monumen Nasional atau biasa disingkat
Monas.
Dulu waktu kecil,
selalu ada penolakan pas mau ketempat ini, ada aja halangan biar pergi ke
Monas. Untuk pergi ketempat ini juga butuh perjuangan tersendiri buat gua.
Mulai dari harus pergi ke stasiun sendiri sampe harus naik kereta sendiri.
Seperti biasa, setiap pengalaman pertama gua pasti banyak menemui hal yang
memalukan. Dimulai dari pas beli tiket kereta yang berbentuk kartu elektrik,
ini adalah pertama kalinya gua beli tiket sendiri, biasanya setiap naik kereta
semenjak teknologi ini dijalankan pasti selalu ada orang yang ngurusin dan
tugas gua hanya tinggal naik dan turun kereta.
Sebelumnya gua harus
naik motor ke stasiun dan itu membutuhkan waktu kira-kira 20-25 menit. Setelah
gua sampe, gua langsung mencari tempat parkiran dan sialnya tempat parkiran di
stasiun udah penuh dan mau gamau gua harus cari tempat penitipan motor deket
stasiun, setelah berjalan dengan sedikit melambatkan motor, akhirnya gua
menemukan tempat penitipan motor yang tidak meyakinkan.
Bayangin aja, tempat
penitipan ini lebih mirip kaya bengkel jualan sepeda loak, ngga ada jarak antara
satu motor dan motor lainnya, udah gitu motor yang diparkir sampe bener-bener
di pinggir jalan raya persis ! bawaanya mau jual besi kalo ke tempat ini. Tapi
karena gua ngga mau ketinggalan kereta, langsung aja gua masuk ke tempat penitipan itu dan langsung ketemu yang punya tempat penitipan, dan yang punyapun udah
terlihat expert dibidangnya seolah-olah gua melihat banyak medali kejuaraan
lomba parkir motor yang tersemat
dilehernya, wow !
Laki-laki paruh baya
yang memiliki penitipan ini menggunakan baju berkerah yang tidak dikancing dan memakai
celana bahan hitam, dan dia juga pake sarung tangan khas pembalap. Setelah gua
melihat cara dia memarkirkan motor keyakinan gua atas expertnya orang ini
bertambah, seolah melihat semakin banyak medali yang melingkar dilehernya.
Langsung aja gua
bilang “Pak, saya mau nitipin motor”. Bapak paruh baya ini tidak menjawab dan
langsung memarkirkan motor gua, setelah diparkirkan dia hanya mengatakan
“pulang jam berapa ?”, gua pun menjawab “jam 6 Pak”. Kemudian dia hanya
mengangguk, dan gua bilang “cuman gini doang pak?”. Dia bilang “terus gimana
lagi?”. Gua hanya bisa tertegun (alah) karena dia ngga kasih kupon nomor yang
biasanya tempat penitipan motor punya.
Karena gua ngga punya
banyak waktu buat shock, gua langsung jalan ke stasiun yang letaknya ngga jauh
dari tempat tadi. Gua langsung bergegas ke tempat antrian tiket sambil masih
memikirkan kupon penitipan motor dan tujuan ke Monas. Tibalah giliran gua untuk
beli tiket, dan si mba ini bertanya “tujuan kemana ?”, gua hampir menjawab
“kupon motor Monas mba”, tapi untungnya gua masih bisa menguasai pikiran
sendiri dan menjawab “stasiun Juanda”.
Setelah membeli tiket
itu, gua langsung berjalan untuk mengantri meletakan tiket di sensor gerbang
masuk. Mungkin karena gua diliatin sama satpam gua jadi grogi (alibi), gua naro
tiketnya malah di layar berwarna hijau yang ada tulisannya, bukan di sensor
yang berbentuk persegi panjang kuning. Satpam pun berkata “Letakan tiketnya di sensor yang kuning dek”,
gua cuman senyum mesem sambil bilang “Oh iya, saya lupa ingatan tadi Pak”.
Lucunya di pengalaman
perdana naik kereta sendiri ini banyak bapak-bapak yang bertanya sama gua, dan
gua pun menjawab sebisa gua walau ada beberapa yang ngga kejawab pertanyaannya
karena gua jawab “kurang tau pak”. Suasana kereta waktu itu mirip kayak suasana
konser outdoor yang sesak dan terkadang terdengar suara samar-samar “air,air… siram kami air”. Salah satu
kenyataan pahit yang harus diambil adalah gua harus berdiri dari stasiun Bekasi
sampe stasiun Juanda dan itu butuh waktu 50 menit.
Anehnya tiba-tiba ada
orang berpakaian khas hikers lengkap dengan buff dikepala dan tas carrier/caril ukuran 40-50 liter, berlari dari arah pintu gerbong kiri kereta
dan menabrak orang-orang dengan membabi
buta, salah satu korbannya adalah gua. Ternyata dia cuman hendak menyebrang,
tapi gua gatau apa yang dia makan sampe dia mikir buat menerobos gerbong kereta
dan menabrak orang dengan membabi buta, ini merupakan suatu tindakan kriminal
tabrak lari !
Gua berdiri di deket
pintu kereta tempat hikers itu muncul tadi. Didepan gua persis ada laki-laki
dewasa yang berdiri, tapi sialnya tingginya hanya sampai selubang hidung gua,
kebetulan rambut dia jabrik dan suasana kereta mengharuskan semuanya berdiri
berdempetan. Sepanjang perjalanan tak jarang rambut jabriknya menusuk lubang
hidung gua sesekali, dan laki-laki itu sadar atas perbuatan rambut jabrik liarnya
itu, dan dia cuman mengangguk senyum karena emang keadaan kereta yang sesak ini
membuat dia tak bisa mengontrol rambut jabriknya.
Akhirnya setelah
berdiri cukup lama, gua sampai di stasiun Juanda. Setelah itu gua turun dengan
menggunakan tangga agar terlihat sedikit keren, karena kebetulan eskalatornya
udah penuh banget. Gua langsung berjalan ke gerbang pintu keluar, dan kali ini
gua meletakan tiket di sensor persegi panjang kuning yang ada di gate dengan mulus. Setelah keluar
ternyata udah ada 3 orang yang menunggu disana dengan beberapa “banner
imajinasi” gua.
Gua berjalan ke arah
gerbang pintu keluar stasiun Juanda dan tiba-tiba suasana
stasiun berubah seperti saat melewati toko baju di mall “tertentu”, karena ada banyak
orang yang berteriak dengan memanggil "kakak". Adik gadungan itu memulai aksinya dengan meneriakan hal semacam ini,“ka, mau kemana ka?”,”Ayo ka saya anter”, dan masih banyak
lagi yang memanggil kami kakak. Seorang dari kami terlihat takut dan seakan
terkena serangan psikis karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia
mempunyai banyak adik yang seolah minta pertanggung jawaban.
Setelah kami melewati
adik-adik gadungan, kita bertiga berjalan ke gerbang masuk Monumen nasional.
(apa perlu gua kenalin satu-satu orangnya ? apa kalian peduli ?) okelah, total
kami empat orang, terdiri dari 2 pria dan 2 wanita, kami keturunan Pithecanthropus
erectus, kami semua omnivore, alat respirasi kami paru-paru, dan kami semua
adalah manusia tulen menurut persyaratan manusia pada umumnya. Pertama ada gua
sendiri Jordi the Human man (?), terus ada Aziz the sleipers (sleep and slip),
lalu ada 2 wanita yang cukup memenuhi kriteria manusia pada umumya yaitu, Ria
dan Aini atau Aini dan Ria, terserah kalian bacanya gimana, itu juga kalo
kalian bisa baca.
Kami berempat yang
memenuhi kriteria manusia pada umunya ini berjalan ke tempat pembelian tiket
untuk masuk ke Monumen Nasional. Aziz yang memiliki spesialis dalam humas
mengemban tugas untuk membeli tiket itu. Setelah kami membeli tiket kami
disambut sama 2 wanita dan 1 pria hippo berbadan tinggi yang lagi magang disana. Satu yang bikin gua kaget dan sedikit menggelitik, ternyata orang hippo ini
suara halus banget dan itu menunjukan betapa rapuhnya pria hippo ini.
Setelah kita berkutat
di lantai 1 Monas dalam waktu yang cukup lama kita berempat berniat untuk naik ke
puncak Monas, setelah sampai disana, gua kaget karena ternyata ada tempat yang
segini kerennya di Ibukota Indonesia, ternyata gua salah karena dari dulu
menyepelekan untuk pergi ke Monas, dan akhirnya penyesalan gua udah terbayar
sekarang, walau cuaca sedikit berkabut dan berangin di puncak Monas, gua cukup
bahagia disini, ditambah lagi ternyata buat liat pake teropong ngga harus masukin
koin dulu kaya perkiraan gua sebelumnya.
Ini view yang gua dapet pas gua foto dari puncak Bogor, eh... puncak Monas maksudnya.
Sekarang gua semakin ngerti kenapa spiderman ngga pernah main ke Indonesia. Coba liat gedung tingginya sama bangunan sekitarnya, ngerti kan ?
Mungkin gua merupakan salah
satu korban di era millennium, dimana orang udah mulai berpikir untuk
mengesampingkan yang namanya pergi jalan-jalan ke tempat bersejarah di
Indonesia atau pergi ke museum yang sebenarnya penuh unsur edukatif,
dibandingkan pergi ke tempat modern yang lebih menunjukan sifat hedonisme
manusia di panggung kehidupan. *yoi dah !*
Ini adalah foto kita
bertiga di puncak Monas, mirip kaya tersangka kriminal di reportase sore yang
mukanya digelapin.