Tuesday, 10 February 2015

Monumen Nasional

Anyeonghaseyo . . . neomu neomu saranghae sarang ayam.
Are you ready to read another posting from nowhere ?! ok, lets read !

Buzz…buzz…buzz…
Mungkin hampir 49,5% dari kalian yang baca postingan ini udah pernah ketempat ini, dan 30% dari 49,5% pernah ketempat ini pas masih bocah. Dan gua bua bukanlah bagian dari 30% itu. Dari kecil sampe gua akil balik, akhirnya gua ketempat yang dijadikan lambang DKI Jakarta ini, yaitu Tugu Monumen Nasional atau biasa disingkat Monas.

Dulu waktu kecil, selalu ada penolakan pas mau ketempat ini, ada aja halangan biar pergi ke Monas. Untuk pergi ketempat ini juga butuh perjuangan tersendiri buat gua. Mulai dari harus pergi ke stasiun sendiri sampe harus naik kereta sendiri. Seperti biasa, setiap pengalaman pertama gua pasti banyak menemui hal yang memalukan. Dimulai dari pas beli tiket kereta yang berbentuk kartu elektrik, ini adalah pertama kalinya gua beli tiket sendiri, biasanya setiap naik kereta semenjak teknologi ini dijalankan pasti selalu ada orang yang ngurusin dan tugas gua hanya tinggal naik dan turun kereta.

Sebelumnya gua harus naik motor ke stasiun dan itu membutuhkan waktu kira-kira 20-25 menit. Setelah gua sampe, gua langsung mencari tempat parkiran dan sialnya tempat parkiran di stasiun udah penuh dan mau gamau gua harus cari tempat penitipan motor deket stasiun, setelah berjalan dengan sedikit melambatkan motor, akhirnya gua menemukan tempat penitipan motor yang tidak meyakinkan.

Bayangin aja, tempat penitipan ini lebih mirip kaya bengkel jualan sepeda loak, ngga ada jarak antara satu motor dan motor lainnya, udah gitu motor yang diparkir sampe bener-bener di pinggir jalan raya persis ! bawaanya mau jual besi kalo ke tempat ini. Tapi karena gua ngga mau ketinggalan kereta, langsung aja gua masuk ke tempat penitipan itu dan langsung ketemu yang punya tempat penitipan, dan yang punyapun udah terlihat expert dibidangnya seolah-olah gua melihat banyak medali kejuaraan lomba parkir motor  yang tersemat dilehernya, wow !

Laki-laki paruh baya yang memiliki penitipan ini menggunakan baju berkerah yang tidak dikancing dan memakai celana bahan hitam, dan dia juga pake sarung tangan khas pembalap. Setelah gua melihat cara dia memarkirkan motor keyakinan gua atas expertnya orang ini bertambah, seolah melihat semakin banyak medali yang melingkar dilehernya.

Langsung aja gua bilang “Pak, saya mau nitipin motor”. Bapak paruh baya ini tidak menjawab dan langsung memarkirkan motor gua, setelah diparkirkan dia hanya mengatakan “pulang jam berapa ?”, gua pun menjawab “jam 6 Pak”. Kemudian dia hanya mengangguk, dan gua bilang “cuman gini doang pak?”. Dia bilang “terus gimana lagi?”. Gua hanya bisa tertegun (alah) karena dia ngga kasih kupon nomor yang biasanya tempat penitipan motor punya.

Karena gua ngga punya banyak waktu buat shock, gua langsung jalan ke stasiun yang letaknya ngga jauh dari tempat tadi. Gua langsung bergegas ke tempat antrian tiket sambil masih memikirkan kupon penitipan motor dan tujuan ke Monas. Tibalah giliran gua untuk beli tiket, dan si mba ini bertanya “tujuan kemana ?”, gua hampir menjawab “kupon motor Monas mba”, tapi untungnya gua masih bisa menguasai pikiran sendiri dan menjawab “stasiun Juanda”.

Setelah membeli tiket itu, gua langsung berjalan untuk mengantri meletakan tiket di sensor gerbang masuk. Mungkin karena gua diliatin sama satpam gua jadi grogi (alibi), gua naro tiketnya malah di layar berwarna hijau yang ada tulisannya, bukan di sensor yang berbentuk persegi panjang kuning. Satpam pun berkata  “Letakan tiketnya di sensor yang kuning dek”, gua cuman senyum mesem sambil bilang “Oh iya, saya lupa ingatan tadi Pak”.

Lucunya di pengalaman perdana naik kereta sendiri ini banyak bapak-bapak yang bertanya sama gua, dan gua pun menjawab sebisa gua walau ada beberapa yang ngga kejawab pertanyaannya karena gua jawab “kurang tau pak”. Suasana kereta waktu itu mirip kayak suasana konser outdoor yang sesak dan terkadang terdengar suara samar-samar  “air,air… siram kami air”. Salah satu kenyataan pahit yang harus diambil adalah gua harus berdiri dari stasiun Bekasi sampe stasiun Juanda dan itu butuh waktu 50 menit.

Anehnya tiba-tiba ada orang berpakaian khas hikers lengkap dengan buff dikepala dan  tas carrier/caril ukuran 40-50 liter,  berlari dari arah pintu gerbong kiri kereta dan menabrak orang-orang  dengan membabi buta, salah satu korbannya adalah gua. Ternyata dia cuman hendak menyebrang, tapi gua gatau apa yang dia makan sampe dia mikir buat menerobos gerbong kereta dan menabrak orang dengan membabi buta, ini merupakan suatu tindakan kriminal tabrak lari !

Gua berdiri di deket pintu kereta tempat hikers itu muncul tadi. Didepan gua persis ada laki-laki dewasa yang berdiri, tapi sialnya tingginya hanya sampai selubang hidung gua, kebetulan rambut dia jabrik dan suasana kereta mengharuskan semuanya berdiri berdempetan. Sepanjang perjalanan tak jarang rambut jabriknya menusuk lubang hidung gua sesekali, dan laki-laki itu sadar atas perbuatan rambut jabrik liarnya itu, dan dia cuman mengangguk senyum karena emang keadaan kereta yang sesak ini membuat dia tak bisa mengontrol rambut jabriknya.

Akhirnya setelah berdiri cukup lama, gua sampai di stasiun Juanda. Setelah itu gua turun dengan menggunakan tangga agar terlihat sedikit keren, karena kebetulan eskalatornya udah penuh banget. Gua langsung berjalan ke gerbang pintu keluar, dan kali ini gua meletakan tiket di sensor persegi panjang kuning yang ada di gate dengan mulus. Setelah keluar ternyata udah ada 3 orang yang menunggu disana dengan beberapa “banner imajinasi” gua.

Gua berjalan ke arah gerbang pintu keluar stasiun Juanda dan tiba-tiba suasana stasiun berubah seperti saat melewati toko baju di mall “tertentu”, karena ada banyak orang yang berteriak dengan memanggil "kakak". Adik gadungan itu memulai aksinya dengan meneriakan hal semacam ini,“ka, mau kemana ka?”,”Ayo ka saya anter”, dan masih banyak lagi yang memanggil kami kakak. Seorang dari kami terlihat takut dan seakan terkena serangan psikis karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia mempunyai banyak adik yang seolah minta pertanggung jawaban.

Setelah kami melewati adik-adik gadungan, kita bertiga berjalan ke gerbang masuk Monumen nasional. (apa perlu gua kenalin satu-satu orangnya ? apa kalian peduli ?) okelah, total kami empat orang, terdiri dari 2 pria dan 2 wanita, kami keturunan Pithecanthropus erectus, kami semua omnivore, alat respirasi kami paru-paru, dan kami semua adalah manusia tulen menurut persyaratan manusia pada umumnya. Pertama ada gua sendiri Jordi the Human man (?), terus ada Aziz the sleipers (sleep and slip), lalu ada 2 wanita yang cukup memenuhi kriteria manusia pada umumya yaitu, Ria dan Aini atau Aini dan Ria, terserah kalian bacanya gimana, itu juga kalo kalian bisa baca.

Kami berempat yang memenuhi kriteria manusia pada umunya ini berjalan ke tempat pembelian tiket untuk masuk ke Monumen Nasional. Aziz yang memiliki spesialis dalam humas mengemban tugas untuk membeli tiket itu. Setelah kami membeli tiket kami disambut sama 2 wanita dan 1 pria hippo berbadan tinggi yang lagi magang disana. Satu yang bikin gua kaget dan sedikit menggelitik, ternyata orang hippo ini suara halus banget dan itu menunjukan betapa rapuhnya pria hippo ini.

Setelah kita berkutat di lantai 1 Monas dalam waktu yang cukup lama kita berempat berniat untuk naik ke puncak Monas, setelah sampai disana, gua kaget karena ternyata ada tempat yang segini kerennya di Ibukota Indonesia, ternyata gua salah karena dari dulu menyepelekan untuk pergi ke Monas, dan akhirnya penyesalan gua udah terbayar sekarang, walau cuaca sedikit berkabut dan berangin di puncak Monas, gua cukup bahagia disini, ditambah lagi ternyata buat liat pake teropong ngga harus masukin koin dulu kaya perkiraan gua sebelumnya.

Ini view yang gua dapet pas gua foto dari puncak Bogor, eh... puncak Monas maksudnya.
Sekarang gua semakin ngerti kenapa spiderman ngga pernah main ke Indonesia. Coba liat gedung tingginya sama bangunan sekitarnya, ngerti kan ?

Mungkin gua merupakan salah satu korban di era millennium, dimana orang udah mulai berpikir untuk mengesampingkan yang namanya pergi jalan-jalan ke tempat bersejarah di Indonesia atau pergi ke museum yang sebenarnya penuh unsur edukatif, dibandingkan pergi ke tempat modern yang lebih menunjukan sifat hedonisme manusia di panggung kehidupan. *yoi dah !*
Ini adalah foto kita bertiga di puncak Monas, mirip kaya tersangka kriminal di reportase sore yang mukanya digelapin.

No comments:

Post a Comment

Komentarlah sewajarnya, sebelum komentar itu dilarang.